Cerita Pesisir Jingga, Kampung Kapatlap, Raja Ampat






Pagi itu hari Senin tanggal 18 Januari 2016 sekitar pukul 07.30 WIT, saya dan kedua rekan program pendidikan, Eleonora dan Muklis, melangkahkan kaki kami ke satu-satunya sekolah formal yang ada di Kampung Kapatlap yaitu SD INPRES 19 Kapatlap. Jarak antara posko KKN atau rumah tempat kami tinggal dengan sekolah tidaklah jauh. Sayapun pernah mencoba menghitungnya dengan langkah kaki dan mendapatinya ada sekitar 70-an langkah kaki saya dari rumah menuju SD tersebut. Bisa dikatakan kira-kira ada 30 meter-an jaraknya. Ketika kami tiba di sekolah, semua murid sudah ada dalam ruang kelas bertuliskan kelas I & II yang berukuran 6 x 5 meter persegi. Bapak Kabes yang menjabat sebagai kepala sekolah dan sekaligus guru mata pelajaran bersama dengan istrinya, Ibu Sonya, yang juga merupakan guru mata pelajaran sudah menunggu kedatangan kami. Ya, memang dua hari sebelumnya kami  sudah berkunjung ke sekolah dan berbincang dengan mereka perihal program mengajar KKN Kapatlap di SD INPRES 19 Kapatlap. Kami mengutarakan niat kami untuk membantu sebagai tenaga pengajar di SD tersebut selama kurun waktu sekitar satu setengah bulan. Niatan kami sangatlah diterima dan didukung karena bagaimanapun juga, mengingat hanya ada dua guru saja yang ada di SD INPRES 19 Kapatlap ketika itu. Menurut penjelasan dari Bapak Kabes, sebenarnya SD tersebut memiliki tiga orang guru yaitu Bapak Kabes sendiri dan istrinya, Ibu Sonya, dan juga satu orang guru perempuan lagi yang bernama Ibu Nuraga. Ibu Nuraga merupakan guru asal Maluku namun sudah lama menetap di kota Sorong dan dipindahkan tempat mengajarnya sejak setahun yang lalu. Sedangan pasangan suami istri, bapak Kabes dan Ibu Sonya, memiliki rumah dan keluarga di kota Sorong. Namun, Ibu Nuraga sampai detik itu belum kembali ke kampung Kapatlap sejak libur panjang semester. Ibu Sonya mengatakan bahwa beliau sudah dihubungi, namun belum ada respon. Mereka bertiga adalah guru PNS yang ditugaskan di Kampung Kapatlap oleh Dinas.
Setelah kami tiba di sekolah, mereka mempersilahkan masuk. Suara riang nyanyian diiringi suara tepuk tangan dari seluruh murid dan khusuknya do’a mengawali kegiatan sekolah.
Selamat pagi Tuhan
Bapa terima kasih
Kau telah pelihara kami setiap hari
Matahari bersinar
Burung-burung bernyanyi
Bertambah tambah tambah indahnya
Bagi saya, ini adalah kali pertamanya saya mendengar lagu tersebut seumur hidup saya. Kami bertigapun ikut hanyut dalam suasana riang dan khusuk itu. Kemudian mereka melanjutkannya dengan do’a,
Bapa kami di surga
Dikuduskan nama-Mu
Datanglah Kerajaan-Mu
Jadilah kehendak-Mu
Di bumi seperti di surga
Berikanlah kami pada hari ini makanan yang secukupnya
Dan ampunilahh kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami,
dan janganlah membawa kami ke dalam percobaan,
tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat
karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya
Amin . . .
“Selamat Pagi Bapak, Bapak, dan Ibu, Ibu, Ibu Guru”, sapa murid-murid dengan kompaknya dan senyum yang lebar. Kamipun tersenyum dan menjawab “Selamat pagi”. Mereka menyebutkan ada dua kali kata Bapak yaitu ditujukan kepada Bapak Kabes dan Muklis. Begitu juga dengan tiga kali kata Ibu adalah ditujukan kepada Ibu Sonya, saya, dan Eleonora.
Setelah itu, Bapak Kabes menyuruh mereka kembali ke kelas masing-masing sesuai kelasnya.
Kegiatan mengajar ini dilaksanakan setiap hari Senin sampai Sabtu. Mengajar dilakukan kurang lebih sama dengan kurun waktu program KKN di Kampung Kapatlap yaitu kurang lebih satu setengah bulan. Meskipun ada delapan dari dua puluh dua mahasiswa/mahasiswi KKN yang berasal dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, namun kegiatan mengajar ini melibatkan seluruh mahasiswa/mahasiswi dari beberapa fakultas dan jurusan dengan jadwal secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan agar semua mahasiswa/mahasiswi turut ikut andil pada kegiatan utama KKN ini dan sebagai upaya pendekatan kepada anak-anak secara keseluruhan. Sasaran dari kegiatan mengajar ini adalah murid-murid dari kelas I hingga VI SD. Kegiatan mengajar ini sangat membantu akan kurangnya tenaga pendidik atau guru yang ada karena sekolah ini hanya memiliki tiga orang guru yang harus mengampu kelas I sampai kelas VI.
Sedikit gambaran mengenai sarana dan prasarana yang terdapat di SD INPRES 19 Kapatlap. Sekolah ini memiliki tiga ruang kelas dan satu ruang kantor guru yang merangkap sebagai perpustakaan sekolah. Setiap ruang kelas digunakan untuk dua jenjang kelas, yaitu kelas I dan II, kelas III dan IV, dan kelas V dan VI. Adanya keterbatasan ini menyebabkan pembelajaran disekolah menjadi tidak efektif dan tidak maksimal. Sekolah ini tidak dilengkapi sarana dan prasarana sekolah sesuai standar dan pada umumnya seperti kamar mandi, UKS, maupun kantin sekolah. Sedangkan buku-buku yang digunakan untuk pembelajaran di SD ini adalah buku paket dari pemerintah yang jumlahnya beragam. Tetapi buku-buku tersebut tidak dibagikan kepada murid-murid melainkan milik sekolah dan dapat dipergunakan ketika hanya jam pelajaran. Sehingga setiap murid hanya memiliki buku tulis dan alat tulis. Di sekolah pada umumnya, setiap murid memiliki buku teks sendiri yang dapat dibawa pulang ke rumah sebagai bahan belajar. Oleh karena itu, hal ini juga menjadi perhatian dari program pendidikan KKN Kampung Kapatlap. Mengingat permasalahan tidak adanya buku pelajaran yang dapat dibawa murid untuk belajar di rumah (buku pegangan murid), mahasiswa/mahasiswi KKN bersama dengan program pendidikan ini memberikan buku LKS dari Jawa untuk SD kelas I sampai kelas VI untuk semua mata pelajaran terkecuali mata pelajaran muatan lokal Pesisisr dan Laut. Selain buku LKS, kami juga memberikan peta nusantara besar, poster-poster, kertas HVS, dan bendera merah putih untuk sekolah dan memberikan tas dan perlengkapan alat tulis dan gambar seperti buku tulis, buku gambar, pensil warna, pensil, penggaris, penghapus, dan tempat pensil kepada murid-murid SD INPRES 19 Kapatlap. Hal ini adalah sedikit upaya untuk menambah perlengkapan sekolah, memenuhi kebutuhan alat tulis dasar, dan untuk membangkitkan semangat sekolah murid-murid.

Selama kami mengajar, tentulah sedikit demi sedikit kami mulai mengenali karakter murid-murid. Mental dari murid-murid SD INPRES 19 Kapatlap adalah mental anak-anak yang memiliki motivasi belajar yang masih terbilang rendah dan mudah putus asa. Hal ini dibuktikan dengan seringnya murid-murid membolos sekolah. Biasanya mereka lebih memilih ikut orangtuanya pergi ke kebun atau memancing di laut atau bermain karet di sekitar rumah, atau membantu orangtuanya melakukan pekerjaan rumah dan dapur. Disini dapat dilihat bahwa mental murid juga terpengaruhi oleh mental dari orangtuanya di rumah pula. Tidak ada yang mendorong mereka untuk semangat bersekolah. Selain membolos sekolah, saat mengerjakan ulangan, banyak murid yang masih mengandalkan teman-temannya. Selain itu, meskipun mereka memiliki keinginan atau cita-cita, mereka tidak berusaha semangat belajar untuk meraihnya. Ketika di dalam kelas, saat diberi pertanyaan oleh guru, sebagian besar dari mereka masih takut untuk menjawab. Itulah beberapa gambaran karakteristik murid-murid SD INPRES 19 Kapatlap.
Akhirnya pada akhir bulan Januari, seorang guru yang ditunggu-tunggupun kembali ke Kampung Kapatlap, yaitu Ibu Nuraga. Kegiatan mengajar dan belajar mulai berjalan normal. Namun beberapa hari kemudian, ada suatu cerita yang saya rasa cukup menyedihkan tentang kegiatan mengajar dari program pendidikan. Tanggal 5 Februari 2016 adalah hari libur untuk wilayah Papua. Tanggal tersebut adalah hari Turunnya Injil di Tanah Papua. Sekolah diliburkan sejak tanggal 3 Februari 2016. Sayapun kurang mengerti mengapa sekolah dilibubarkan lebih awal dari tanggal liburnya. Setelah saya bertanya konfirmasi kepada bapak Kabes, beliau menjelaskan bahwa biasanya di Papua libur tiga hari. Namun kenyataannya, setelah tanggal 5 berlalu dan memasuki hari Senin tanggal 8 Februari, guru-guru tidak kunjung kembali ke Kampung Kapatlap. Ketiga kelas dan kantor terkunci rapat hari itu. Beberapa murid sudah menunnggu di teras sekolah. Sayapun bertanya kepada murid-murid, “Apa bapak dan Ibu kabes tidak menitipkan kunci?. Mereka tidak kasih kunci ke kaka” . “Tara ada kunci, semua dibawa bapak dan ibu guru.” Jawab seorang murid laki-laki. Akhirnya saya mencoba menghubungi bapak Kabes melalui telepon genggam untuk menanyakan perihal kunci dan mengharap beliau menitipkannya kepada seseorang. Bukan jawaban itu yang saya dapat, melainkan operator yang menjawab, “Maaf, nomor yang anda tuju tidak terdaftar.” Akhirnya saya dan rekan-rekan pengajar hari itu memutar otak bagaimana caranya agar tetap dilaksanakn kegiatan belajar mengajar. Kami akan memutuskan untuk mengambil papan tulis yang ada di posko KKN dan melaksanakan proses belajar mengajar di alam terbuka. Tiba-tiba seorang murid, Lius namanya, mengatakan bahwa ia bisa membuka kunci pintu kelas III dan IV dengan memanjat atap plafon lewat belakang kelas. Kamipun serentak setuju dengan Lius untuk melakukannya tanpa khawatir karena kami percaya kemampuan fisik anak-anak dan orang-orang kampung Kapatlap. Akhirnya pintu kelas kedua kelas bisa terbuka. Proses belajar mengajarpun akhirnya bisa dilaksanakan mulai pukul sekitar 8.20 WIT yang mana seharusnya biasanya dimulai pukul 07.30 WIT. Satu pintu yaitu pintu kelas  I dan II tidak kami kunci setelah pulang sekolah agar kami semua bisa masuk kelas. Ada pintu penghubung di setiap kelasnya kecuali kantor.
Suatu cerita lagi di lain hari dalam jam pelajaran Mulok Pesisir dan Laut, salah satu rekan KKN saya yang mendapat giliran mengajar, Ayu, membacakan bagaimana menjelaskan materi tentang sigap bencana gempa bumi kepada murid-murid di kelas III dan IV. Saya ikut serta di kelas tersebut dan mendengarkan penjelasannya. Ketika Ayu menjelaskan dan membaca“. . .ikuti  petunjuk guru atau orang dewasa”, salah seorang murid perempuan menjawab dengan lugunya, “tara ada guru” (tidak ada guru). Ayu seketika diam sejenak dan ia menolehkan kepalanya ke saya dan kamipun saling mengisyaratkan bahwa kami sama-sama merasa sedih mendengar ucapan spontanitas dari murid tersebut. Kami merasa kasihan dan mengharap Bapak dan kedua Ibu guru segera pulang dan kembali mengajar. Kami paham betul bahwasanya ini bukan sepenuhnya salah bapak dan ibu guru. Mereka tak kunjung kembali karena alasan transportasi laut yang tidak mudah.
Menurut kami, apa yang dibutuhkan mereka saat ini adalah guru yang menetap tinggal di kampung Kapatlap. Kami berharap tidak ada hari-hari efektif yang terbuang begitu saja. Mengingat baca tulis murid-murid yang masih susah, kamipun mengharap bapak atau ibu guru yang bertugas di SD dan tinggal di kampung tersebut mampu meluangkan waktunya usai jam seolah untuk mengajarkan baca tulis hitung secara intensif secara geratis di luar jam sekolah. Oleh karena itu, kami mengharap kelak nanti ada murid yang bisa menjadi guru dan siap selalu untuk mengajar di kampungnya sendiri, yaitu mengajar di SD INPRES 19 Kapatlap.   

Comments